Bersahaja dalam Jingga
L
|
angit
tak pernah tinggalkan buminya, unta tak pernah tinggalkan gurunnya, pantai tak
pernah tinggalkan ombaknya, pohon tak pernah tinggalkan rantingnya, begitu juga
Jingga yang enggan sendiri, dia tak pernah tinggalkan keluarganya. Apa yang
bisa ia lakukan tanpa keluarga? Hidup bagaikan tak bernilai, kematian yang
menjadi impian. “Hempaskan saja ombak,
runtuhkanlah gunung itu hingga menyapu
krikil jejak nafasku, hidup tiada
bernyawa tanpa kalian” ungkap nya dalam sebuah coretan tinta jingga.
“Aku
bersahaja. karena Jingga luar biasa, kami bangga memilikimu. Biarkan saja
rembulan jauh dari sudut pantai, asalkan kami selalu bersama.” ucap ibu kepadanya.
Yang ku lihat
hanya derai tuntunan air mata yang menjawab seikat kata manja seorang ibu
kepada anak bungsunya itu, Jingga. ia adalah seorang anak yang luar biasa.
Mungkin orang diluar sana hanya melihat Jingga seperti seekor anak kambing yang
diikat pada penegak tiang dan selalu menunggu kehadiran seseorang untuk
mengurusnya. Tetapi menurut kami, dia adalah seorang malaikat kecil yang hebat
dan mempunyai impian besar yang tidak orang miliki. Pernah sesekali kami
memberi obat dan terapi kepadanya, namun semua itu hanya sia-sia, karena jingga
menolak untuk melakukannya. Kami hanya ingin memberikan yang terbaik untuknya. Kami tidak tahu apa yang selama ini ia pikirkan.
seperti kubang yang melewati sekuntum bunga yang harum. Dia tak pernah
mencurahkan apapun yang dia inginkan, hanya sajak dan syair yang selalu dia
tulis dalam coretannya bersama tatapan tajam yang mengarah pada langit jingga ,
langit dimana matahari mulai terbenam.
Seringkali aku memperhatikannya dan menatap indah keagungan Tuhan itu, dan sering
kali juga aku melontarkan pertanyaan yang sama kepadanya
“Dek, kakak mau nanya? Kenapa sih kamu suka sekali
menatap bahkan menulis beribu syair untuk langit itu?” tak pernah ada jawaban dari pertanyaanku ,
walau aku tahu dia bisa saja menjawabnya pada coretan dibukunnya , namun sama sekali tidak, dia
terus saja menulis syair yang indah untuk langit jingga yang sangat indah itu. Pernah
ku mencuri pandanganku kearah buku yang sedang
ia tuliskan “ Langit Jingga Diufuk Rantingku“.
Aku sama sekali tidak mengerti arti dan makna dalam setiap kata-katanya. Ketika
langit jingga itu sudah bergilir pada warna yang sesungguhnya, Jingga selalu
memejamkan matanya dan memeluk erat buku yang berisi beribu syair yang indah
seperti tidak bernafas melihatnya. Namun aku yakin, dibalik semua itu ada
keinginan yang mulia dari seorang Jingga terhadap hidupnya
***.
Pada
suatu malam yang dingin, diperkirakan akan terjadi hujan yang sangat lebat, ibu
ingin menemani Jingga di kehangatan balutan selimutnya.
“Jiingggaaaaaa” teriak
ibu.
Ada apa dengan
ibu? aku dan ayah langsung menelusuri suara itu, suara yang berasal dari kamar
Jingga. Kamar yang tidak berpenghuni, hanya sepucuk surat yang mampu menjawabnya
“...Tiada yang
sempurna dalam hidup, namun tercipta semua menjadi kesempurnaa seseorang dalam
menjalani kehidupan. Tercipta sebuah mata untuk melihat, tercipta sebuah
telinga untuk mendengar, tercipta sebuah mulut untuk berbicara, tercipta
seluruh raga untuk bergerak , sampai tercipta keluarga untuk menderatkan detak
jantung kehidupan . Kadangkala kesempurnaan itu yang menjadi seseorang sangat
sulit untuk bersyukur. aku tak pernah
meminta kesempurnaan dariMu, aku terlahir dangan raga yang tidak sempurna,
dengan mulut yang tak bernada, dengan pendengaran yang kurang jelas.. Tak
masalah bagiku, tetapi izinkan aku meminta kebahagiaanku untuk keluarga ini
Tuhan.... Izinkan aku memetik keindahan langit Jingga diufuk rantingku,
sebagaimana pohon yang indah dengan ranting-ranting yang bergelut mesra dibawah
langit jingga yang memberikan makna subur, kokoh, kuat, dan seikat kebahagiaan
seseorang yang melihatnya .dan pohon itu akan berdiri dengan ranting yang
selalu bertambah sedikit demi sedikit dengan daun yang hijau serta gemilangnya
bunga dan buah. Tuhan ambilah satu ranting dari pohon ini, tetapi tumbuhkanlah
seribu ranting untuk pohon ini, agar selalu tumbuh menjadi pohon yang indah.
Ibu, ayah, ka dera. Berjanjilah padaku, aku
hanya ingin mencari apa yang ingin aku cari, aku hanya ingin melihat apa yang
ingin aku lihat.aku hanya ingin melukiskan jejak-jajakku, percayalah aku selalu
besama keluarga yang sangat istimewa ini. Tuhan sudah mengirimkan anugrah
terindahnya kepadaku. percayalah aku bersahaja pada indahnya langit jingga...”.
Sejak malam itu, kekhawatiran
kami memuncak. Seluruh cara kami lakukan untuk mencari Jingga walau hujan lebat
mengahalangi langkah kami.
***
3hari, 72 jam, 10800 detik berlalu, tidak ada kabar
mengenai Jingga. Tak pernah berhenti menangis, tak pernah berhenti berdoa, dan
tak pernah berhenti mencarinya.
“Jingga... dimana
kau nak? Ibu khawatir sekali, ibu ingin memelukmu, Pulang laaah...” riintihan
suara ibu tak kuat ku bendung lagi, berbagai cara telah kami lakukan untuk
mencara Jingga, namun tekadku untuk mencari Jingga sangatlah besar, aku harus
mencari tau sendiri dimana Jingga, aku yakin dia pergi kesuatu tempat yang
sangat ia impikan selama ini dan itu semua ia curahkan pada bukunya. Aku mecari
dan membaca buku itu,sampai pada halaman ke21 buku itu bertuliskan “satu titik
cinta Jingga dibawah langit jingga” aku terus
membacanya dan ku menemukan beberapa kalimat impiannya.
“...Dihari yang indah, berteman bunga dan burung-burung berkicau merdu
terikat pada suatu cinta, menerangkan beribu harapan, tersenyum bahagia,
melepas duka yang lara, tersinar dibawah langit jingga.
Langit jingga,
Langit yang menyipan titik-titik kebahagiaan bersamanya. Aku selalu melihatmu
dan selalu menantikanmu, kau hadir disetiap harapanku. inginku melangkah lebih
jauh untuk mendekatimu, menemukan pohon bersama ranting-ranting yang sudah
tumbuh besar. Akankah aku menemukannya? Jejak-jejakku akan melukiskan
keindahanmu...”
***
Dan kini aku mengerti arti langit jingga untuknya, hari
itu pun aku pergi tanpa seizin ibu dan ayah. Aku pergi membawa sepucuk surat
dan buku hariannya itu. Kemana langkah kakiku ini berpijak? Aku menelusuri
cahaya yang datang ketika langit jingga bergemilang. Saat itu, tak hentinya
kakiku berlari mengejar cahaya tersebut. Semakin aku berlari semakin redup
harapanku menemukan Jingga. jika ia selalu
menggambarkan bahwa aku adalah seorang kakak yang baik dan terhebat untuknya, akankah
pandangan Jingga terhadapku menjadi bukti kalau aku memang kakak yang baik
untuknya? Kurasa tidak, sampai aku menemukannya. Sudah dua kali hadir dan
berganti warna, cahaya langit jingga belum juga ku gapai. Air mata menuntunku
dalam berlari, berlari dan terus berlari. Namun mata ini sekejap menatap
kuasaanMu yang membuat kaki terasa berat untuk melangkah, terjatuh dalam
hamparan tanah yang luas, berbisik bunga dan burung-burung, sapaan air yang
meluas, hadapkan pohon yang sangat besar dengan warna jingga yang menyolok
tajam. Tak berfikir apapun saat itu, hanya doa yang ku panjatkan untuk Jingga.
“sekali ini saja
Tuhan ambilah rantigku, tetapi kembalikanlah Jingga kepada ayah dan ibu” ucapku
dengan teriakan memenuhi hamparan tanah itu. Nafas hampir tak terkendali lagi,
keindaahan yang tak kusadari ini mulai hilang, dan sesaat aku terjatuh tak sadarkan diri.
Aku merasakan hal yang aneh, ketika air yang menjatuhi
wajahku setiap detiknya. Aku merasa aku harus membuka mata ini, dan apa yang
terjadi? Sosok anak perempuan yang terseyum manis, dengan teduhuan pohon yang
sangat besar. Didalam pikiranku itu adalah Jingga dan memang itu Jingga.
Pelukan hangat ini menyapanya dan rasa bahagia memujanya. Tak akan kutanya
mengapa dia menghilang? Karena aku tahu semua manusia mempunyai impiannya, ia
akan mencarinya dan tak peduli seberapa besar rintangan yang ia hadapai, namun
impian itu harus kita raih. Begitu pula dengan Jingga. Dia tak meminta apapun,
ia hanya ingin mengejar impiannya, yaitu menikmati anugrah Tuhan yang indah itu
dan menciptakan kebahagiannya sendiri dibawah langit jingga. Dan saat itu
langit jingga membuktikanku bahwa hidup akan terus berganti warna, baik terang
maupun gelap dan dalam setiap warnanya pasti ada satu warna yang membuat kita
bahgian melihatnya. Rasa bahagia menyelimuti keluarga kami ketika kami sampai
dirumah, berpeluk hangat dengan ayah dan ibu. tak ada lagi seekor anak kambing
yang diikat ditiang, mungkin orang akan berfikir ulang untuk mengandaikannya,
karena yang ia andaikan mampu berjalan melukiskan jejak-jejaknya dan meraih
impiannya.
”Ibu, ayah, ka
dera. Maafkan aku, karena aku pergi begitu saja. Karena ku tahu kalian takakan
pernah mengizinkanku untuk pergi, aku hanya ingin mengejar impianku dan
membuktikan pada dunia bahwa aku bukanlah seekor anak kambing yang diikat pada
penegak tiang, aku adalah seorang Jingga yang mampu mengejar impianku, dan
Jingga yang memiliki keluarga sangat istimewa. Mempunyai ibu yang tegar, ayah
yang penyayang, dan kakak yang hebat, aku bangga mempunyai kalian. Aku berharap
kalian bangga mempunya seorang Jingga. Sungguh, ku tak meminta apapun untuk
menjadi sempurna. Dan sungguh, aku hanya ingin menciptakan sedikit dari
banyaknya cara orang menghadirkan kebahagiaannya. Lalu salahkah aku?”
tuturan pena Jingga pada tulisannya.
Jingga mengajarkan kita bahwa kekurangan bukanlah
hambatan untuk menciptakan kebahagiannya sendiri, janganlah kalian menutupinya, berilah kesempatan untuk
mereka melakukan hidupnya sendiri, dan mengejar apa yang mereka inginkan.
Jingga, kami bangga memilikimu. Bagi kami, keluarga memang segalanya, tanpa
keluarga hidup tidak akan sempurna. tetapi tanpa dirimu kami bukanlah keluarga
yang sempurna.