Minggu, 02 Februari 2020

Taukah kalian agama Kapitayan?


Agama Kapitayan yang Jarang Diketahui








Banyak yang beranggapan bahwa agama nenek moyong kita khususnya di tanah jawa itu adalah animisme dan dinamisme. Yaitu kepercayaan terhadap hal-hal yang mempunyai kekuatan ghaib (roh) dan kepercayaan terhadap benda-benda alam, seperti batu, grumbul dan sebagainya. Padahal taukah kalian, ada kepercayaan yang sudah ada jauh sebelum adanya kepercayaan animisme dan dinamisme itu muncul, yaitu kepercayaan monotheisme. Adalah kepercayaan terhadap satu Tuhan yang dikenal sebagai ajaran dari kapitayan. Ajaran kapitaiyan adalah ajaran yang menyembah satu Tuhan yang biasa mereka panggil sebagai Sang Hyang Taya, yang bermakna hampa atau kosong. Taya bermakna absolut, yang tidak bisa diperkirakan dan dibayang-bayangkan, tidak bisa diketahui oleh pacaindra. Sang Hyang Taya juga digambarkan mempribadi dalam nama dan sifat ilahiah yang disebut TU atau TO yang bermakna daya ghaib, tunggal dalam Dzat atau juga dikenal sebagai Sang Hyang Tunggal.
Ajaran monotheisme ini sama dengan ajaran tauhid yang dibawa oleh nabi Adam dan diperkirakan terus meluas serta diseberluaskan oleh pengikut nabi Nuh hingga ke Nusantara, khususnya di tanah jawa. Konsep ajaran ini adalah untuk beribadah kepada Sang Hyang Taya, rohaniwan kapitayan melangsungkan peribadahan disuatu tempat yang bernama sanggar. Yaitu bangunan persegi empat yang beratap tumpeng dengan tutuk atau lubang ceruk di dinding sebagai lambing kehampaan Sang Hyang Taya. Ini yang kita kenal sampai sekarang dengan kata sembahyang (menyembah kepada Sang Hyang Taya). Lebih lanjut dalam ritual sembahyang, para rohaniwan kapitayan mula-mula melakukan cara berdiri tegak menghadap tutuk dengan kedua tangan diangkat ke atas dengan maksud menghadirkan Sang Hyang Taya di dalam hati. Setelah merasa Sang Hyang Taya bersemayam di hati, kedua tangan diturunkan dan didekapkan di dada tepat di hati. Posisi ini disebut sebagai swa-dikep atau memegang keakuan diri pribadi. Proses berdiri tegak ini dilakukan dalam tempo yang relative lama. Setelah berdiri selesai, sembahyang dilanjut dengan posisi membungkuk memandang ke bawah yang juga dilakukan dalam tempo yang relative lama. Setelah proses tersebut, selanjutnya melakukan bersimpuh dengan kedua tumit diduduki. Terakhir mereka melakukan bersujud seperti bayi dalam perutnya.
            Masyarakat jawa dulu sudah mengenal konsep ketuhanan, yaitu agama kapitaiyan, bukan sekedar animisme. Meskipun secara ritual masyarakat awam pemeluk agama kapitaiyan seperti ritual dalam kepercayaan animisme. Ini yang disalah artikan dan dianggap keliru oleh sejarawan Belanda sebagai kepercayaan animisme dan dinamisme. Alasanya karena penamaan Sang Hyang Taya oleh orang jawa yang awam didefinisikan dalam satu kaliamat “Tan Kena Kinaya ngapa” atau bisa juga diartikan tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya. Untuk itu agar bisa disembah, Sang Hyang Taya mempribadikan dalam nama sifat yang disebut TU atau TO yang bermakna “daya gaib” yang bersifat Adikodrati. Olehkarena itu kekuatan gaib terlihat dari benda-benda yang bernamakan TU atau TO, seperi wa-TU, TU-gu, TU-lang, TU-nggul, TU-ak, TU-k, TU-ban, TU-mbak, TU-nggak, TO-peng, TO-san, TO-pong, TO-parem, TO-wok, TO-ya. Dalam melakukan bhakti memuja Sang Hyang Taya, orang menyediakan sesaji berupa TU-mpeng, TU-kung, TU-d kepada Sang Hyang Taya melalui sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan gaib. Padahal ajaran kapitayan adalah ajaran yang berprinsip memiliki keyakinan kepada Sang Hyang Taya, yang bermakna Hampa atau Kosong atau Suwung dan bisa juga Awung-uwung. Dialah Dzat Yang Maha Kuasa dan Pencipta segala sesuatu.
Jika seorang hamba pemuja Sang Hyang Taya yang dianggap saleh akan dikaruniai kekuatan gaib yang bersifat possitif (TU-ah) dan bersifat negative (TU-lah). Mereka yang sudah dikaruniai TU-ah dan Tu-lah itulah yang dianggap berhak menjadi pemimpin suatu masyarakat. Dan mereka itu yang disebut sebagai ra-TU dan dha-Tu (cikal bakal gelar Ratu dan Datu para pemimpin Kerajaan Nusantara). Mereka yang sudah dikaruniai TU-ah dan TU-lah, gerak-gerik kehidupannya akan ditandai oleh kekuatan rahasia Ilahi Sang Hyang Taya yang tersembunyi. Itulah sebabnya, ra-Tu atau dha-TU, menyebut dirinya dengan kata gani PI-nakahulun. Jika berbicara disebetu PI-dato, jika mendengar disebut PI-harsa, jika mengajar pengetahuan disebut PI-wulung, jika memberi petuah disebut PI-tutur, jika bertanya disebut PI-takon, jika memancarkan kekuatan disebut PI-deksa, jika mereka meninggal disebut PI-tara. Sehingga seorang ra-Tu dan dha-TU, adalah sebuah pengejawantahan kekuatan gaib Sang Hyang Taya, seorang ra-TU dan dha-TU adalah citra Pribadi Sang Hyang Taya.
 Yang menarik, bahwa konsep Hyang adalah asli dari system kepercayaan dari masyarakan Nusantara, khusunya penduduk tanah jawa. Bukan konsep yang berasal dari ajaran Hindu ataupun Budha dari India. Kata Hyang dikenal dalam bahasa Melayu, Kawi, Jawa, Sunda dan Bali sebagai keberadaan Adikodrati supernatural yang tidak terlihat dalam mitologi Jawa Kuno . Ajaran ini juga ada jauh sebelum Islam dan agama-agama lain muncul.
Sedikit membahas mengenai istilah agama, istilah agama sudah ada sejak zaman nabi Nuh, karena banyak pengikut nabi Nuh yang mulai menyebarkan keyakinan dan ajaran yang tidak bersandarkan pada ajaran nabi Nuh kala itu. Saat memasuki Nusantara, untuk menamakan istilah  kepercayaan yang dibawakan oleh nabi Nuh maka orang-orang menyebutnya dengan kata agama, agama Jatisunda atau Wiwitan, atau Kapitaiyan.
Namun, amat disayangkan dengan perkembangan zaman yang begitu cepat mengalami perubahan yang begitu drastis, agama kapitayan sebagai tuan rumah pernah ditekan hebat oleh tamunya saat masa-masa kerajaan yang mulai mengenal agama baru, seperti agama Hindu dan Budha yang merangkul para penguasa dan menekan golongan penganut kapitayan. Kemudian muncul lagi pembawa kepercayaan lain, Islam pada masa Kerajaan Demak. Mereka melakukan penetrasi hingga sekarang. Dan terakhir di zaman Kolonial, penganut agama Nasrani yang mendapat tempat elite di sosial kemasyarakatan dan lainnya.
Walau agama Kapitayan sudah tertinggal jauh di generasi sekarang, tetapi jika kita menelusuri lebih dalam ajaran ini, khususnya di tanah jawa, pasti masih dikenal oleh sebagian orang. Namun dampak yang masih bisa kita rasakan dari agama ini adalah, konsep dari pengisitilahan nama seperi, sembahyang, batu yang dominan diyakini orang untuk memiliki kekuatan gaib (jimat), penggunaan istilag Ratu atau Dhatu, dan istilah-istilah lainnya yang diyakini sebagai bagian konsep keyakinan ajaran dari agama Kapitayan. Saya harap, kita perlu mengetahui ajaran yang pernah menjadi tuan rumah dari kepercayaan orang Indonesia jauh sebelum agama-agama lainnya bermunculan, bahkan sebelum ajaran animisme dan dinamisme itu ada. Karena sebagimanapun, itu adalah sebuah sejarah yang besar mengenai suatu keyakinan yang pernah mendiami rumah kita, Indonesia.





daftar pustaka:
El-Jaquene, Fery T. 2019. Asal Usul Orang Jawa: Araska Publisher.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Fakta Mengejutkan tentang Patrick Star

Apakah kalian pencinta kartun SpongeBob? Tentu kalian sudah bisa membayangkan jika kartun spongebob bukan hanya tentang si kuning, tapi juga...