Agama Kapitayan yang Jarang Diketahui
Banyak yang beranggapan bahwa agama nenek
moyong kita khususnya di tanah jawa itu adalah animisme dan dinamisme. Yaitu kepercayaan
terhadap hal-hal yang mempunyai kekuatan ghaib (roh) dan kepercayaan terhadap
benda-benda alam, seperti batu, grumbul dan sebagainya. Padahal taukah kalian,
ada kepercayaan yang sudah ada jauh sebelum adanya kepercayaan animisme dan
dinamisme itu muncul, yaitu kepercayaan monotheisme. Adalah kepercayaan
terhadap satu Tuhan yang dikenal sebagai ajaran dari kapitayan. Ajaran kapitaiyan
adalah ajaran yang menyembah satu Tuhan yang biasa mereka panggil sebagai Sang
Hyang Taya, yang bermakna hampa atau kosong. Taya bermakna absolut, yang tidak
bisa diperkirakan dan dibayang-bayangkan, tidak bisa diketahui oleh pacaindra.
Sang Hyang Taya juga digambarkan mempribadi dalam nama dan sifat ilahiah yang
disebut TU atau TO yang bermakna daya ghaib, tunggal dalam Dzat atau juga
dikenal sebagai Sang Hyang Tunggal.
Ajaran monotheisme ini sama dengan ajaran
tauhid yang dibawa oleh nabi Adam dan diperkirakan terus meluas serta
diseberluaskan oleh pengikut nabi Nuh hingga ke Nusantara, khususnya di tanah
jawa. Konsep ajaran ini adalah untuk beribadah kepada Sang Hyang Taya,
rohaniwan kapitayan melangsungkan peribadahan disuatu tempat yang bernama
sanggar. Yaitu bangunan persegi empat yang beratap tumpeng dengan tutuk atau
lubang ceruk di dinding sebagai lambing kehampaan Sang Hyang Taya. Ini yang
kita kenal sampai sekarang dengan kata sembahyang
(menyembah kepada Sang Hyang Taya). Lebih lanjut dalam ritual sembahyang,
para rohaniwan kapitayan mula-mula melakukan cara berdiri tegak menghadap tutuk
dengan kedua tangan diangkat ke atas dengan maksud menghadirkan Sang Hyang Taya
di dalam hati. Setelah merasa Sang Hyang Taya bersemayam di hati, kedua tangan
diturunkan dan didekapkan di dada tepat di hati. Posisi ini disebut sebagai swa-dikep atau memegang keakuan diri
pribadi. Proses berdiri tegak ini dilakukan dalam tempo yang relative lama. Setelah
berdiri selesai, sembahyang dilanjut dengan posisi membungkuk memandang ke
bawah yang juga dilakukan dalam tempo yang relative lama. Setelah proses
tersebut, selanjutnya melakukan bersimpuh dengan kedua tumit diduduki. Terakhir
mereka melakukan bersujud seperti bayi dalam perutnya.
Masyarakat jawa dulu sudah mengenal
konsep ketuhanan, yaitu agama kapitaiyan, bukan sekedar animisme. Meskipun secara
ritual masyarakat awam pemeluk agama kapitaiyan seperti ritual dalam
kepercayaan animisme. Ini yang disalah artikan dan dianggap keliru oleh
sejarawan Belanda sebagai kepercayaan animisme dan dinamisme. Alasanya karena
penamaan Sang Hyang Taya oleh orang jawa yang awam didefinisikan dalam satu
kaliamat “Tan Kena Kinaya ngapa” atau
bisa juga diartikan tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya. Untuk itu agar bisa
disembah, Sang Hyang Taya mempribadikan dalam nama sifat yang disebut TU atau
TO yang bermakna “daya gaib” yang bersifat Adikodrati. Olehkarena itu kekuatan
gaib terlihat dari benda-benda yang bernamakan TU atau TO, seperi wa-TU, TU-gu,
TU-lang, TU-nggul, TU-ak, TU-k, TU-ban, TU-mbak, TU-nggak, TO-peng, TO-san,
TO-pong, TO-parem, TO-wok, TO-ya. Dalam melakukan bhakti memuja Sang Hyang Taya,
orang menyediakan sesaji berupa TU-mpeng, TU-kung, TU-d kepada Sang Hyang Taya
melalui sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan gaib. Padahal ajaran kapitayan
adalah ajaran yang berprinsip memiliki keyakinan kepada Sang Hyang Taya, yang
bermakna Hampa atau Kosong atau Suwung dan bisa juga Awung-uwung. Dialah Dzat
Yang Maha Kuasa dan Pencipta segala sesuatu.
Jika
seorang hamba pemuja Sang Hyang Taya yang dianggap saleh akan dikaruniai
kekuatan gaib yang bersifat possitif (TU-ah) dan bersifat negative (TU-lah). Mereka
yang sudah dikaruniai TU-ah dan Tu-lah itulah yang dianggap berhak menjadi
pemimpin suatu masyarakat. Dan mereka itu yang disebut sebagai ra-TU dan dha-Tu
(cikal bakal gelar Ratu dan Datu para pemimpin Kerajaan Nusantara). Mereka yang
sudah dikaruniai TU-ah dan TU-lah, gerak-gerik kehidupannya akan ditandai oleh
kekuatan rahasia Ilahi Sang Hyang Taya yang tersembunyi. Itulah sebabnya, ra-Tu
atau dha-TU, menyebut dirinya dengan kata gani PI-nakahulun. Jika berbicara
disebetu PI-dato, jika mendengar disebut PI-harsa, jika mengajar pengetahuan
disebut PI-wulung, jika memberi petuah disebut PI-tutur, jika bertanya disebut
PI-takon, jika memancarkan kekuatan disebut PI-deksa, jika mereka meninggal
disebut PI-tara. Sehingga seorang ra-Tu dan dha-TU, adalah sebuah
pengejawantahan kekuatan gaib Sang Hyang Taya, seorang ra-TU dan dha-TU adalah
citra Pribadi Sang Hyang Taya.
Yang menarik, bahwa konsep Hyang adalah asli
dari system kepercayaan dari masyarakan Nusantara, khusunya penduduk tanah
jawa. Bukan konsep yang berasal dari ajaran Hindu ataupun Budha dari India. Kata
Hyang dikenal dalam bahasa Melayu, Kawi, Jawa, Sunda dan Bali sebagai
keberadaan Adikodrati supernatural yang tidak terlihat dalam mitologi Jawa Kuno
. Ajaran ini juga ada jauh sebelum Islam dan agama-agama lain muncul.
Sedikit
membahas mengenai istilah agama, istilah agama sudah ada sejak zaman nabi Nuh,
karena banyak pengikut nabi Nuh yang mulai menyebarkan keyakinan dan ajaran
yang tidak bersandarkan pada ajaran nabi Nuh kala itu. Saat memasuki Nusantara,
untuk menamakan istilah kepercayaan yang
dibawakan oleh nabi Nuh maka orang-orang menyebutnya dengan kata agama, agama Jatisunda atau Wiwitan,
atau Kapitaiyan.
Namun,
amat disayangkan dengan perkembangan zaman yang begitu cepat mengalami
perubahan yang begitu drastis, agama kapitayan sebagai tuan rumah pernah
ditekan hebat oleh tamunya saat masa-masa kerajaan yang mulai mengenal agama
baru, seperti agama Hindu dan Budha yang merangkul para penguasa dan menekan
golongan penganut kapitayan. Kemudian muncul lagi pembawa kepercayaan lain,
Islam pada masa Kerajaan Demak. Mereka melakukan penetrasi hingga sekarang. Dan
terakhir di zaman Kolonial, penganut agama Nasrani yang mendapat tempat elite
di sosial kemasyarakatan dan lainnya.
Walau agama Kapitayan sudah tertinggal jauh di
generasi sekarang, tetapi jika kita menelusuri lebih dalam ajaran ini,
khususnya di tanah jawa, pasti masih dikenal oleh sebagian orang. Namun dampak
yang masih bisa kita rasakan dari agama ini adalah, konsep dari pengisitilahan
nama seperi, sembahyang, batu yang dominan diyakini orang untuk memiliki
kekuatan gaib (jimat), penggunaan istilag Ratu atau Dhatu, dan istilah-istilah
lainnya yang diyakini sebagai bagian konsep keyakinan ajaran dari agama
Kapitayan. Saya harap, kita perlu mengetahui ajaran yang pernah menjadi tuan
rumah dari kepercayaan orang Indonesia jauh sebelum agama-agama lainnya
bermunculan, bahkan sebelum ajaran animisme dan dinamisme itu ada. Karena sebagimanapun,
itu adalah sebuah sejarah yang besar mengenai suatu keyakinan yang pernah
mendiami rumah kita, Indonesia.
daftar pustaka:
El-Jaquene, Fery T. 2019. Asal Usul Orang Jawa: Araska Publisher.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar